Minggu, 30 Juni 2013

Perundingan Linggarjati CIREBON


Atau kadang juga disebut Perundingan Lingga jati adalah suatu perundingan antara Indonesia dan Belanda di Linggarjati, Jawa Barat yang menghasilkan persetujuan mengenai status kemerdekaan Indonesia. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 November 1946 dan diratifikasi kedua negara pada 25 Maret 1947.

Latar Belakang

Masuknya AFNEI yang diboncengi NICA ke Indonesia karena Jepang menetapkan 'status quo' di Indonesia menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda, seperti contohnya Peristiwa 10 November, selain itu pemerintah Inggris menjadi penanggung jawab untuk menyelesaikan konflik politik dan militer di Asia, oleh sebab itu, Sir Archibald Clark Kerr, diplomat Inggris, mengundang Indonesia dan Belanda untuk berunding di Hooge Veluwe, namun perundingan tersebut gagal karena Indonesia meminta Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa,Sumatera dan Pulau Madura, namun Belanda hanya mau mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja.

 

Misi

Pada akhir Agustus 1946, pemerintah Inggris mengirimkan Lord Killearn ke Indonesia untuk menyelesaikan perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 7 Oktober 1946 bertempat di Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta dibuka perundingan Indonesia-Belanda dengan dipimpin oleh Lord Killearn. Perundingan ini menghasilkan persetujuan gencatan senjata (14 Oktober) dan meratakan jalan ke arah perundingan di Linggarjati yang dimulai tanggal 11 November 1946.

Perjalanan perundingan

Dalam perundingan ini Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir, Belanda diwakili oleh tim yang disebut Komisi Jendral dan dipimpin oleh Wim Schermerhorn dengan anggota H.J. van Mook,dan Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai mediator dalam perundingan ini.

Hasil perundingan terdiri 17 pasal yang berisi:

  1. Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera dan Madura.
  2. Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
  3. Pihak Belanda dan Indonesia Sepakat membentuk negara RIS.
  4. Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth /Persemakmuran Indonesia-Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala unit.

Pro dan Kontra

Perjanjian Linggarjati menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia, contohnya beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata. Partai-partai tersebut menyatakan bahwa perjanjian itu adalah bukti lemahnya pemerintahan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946, dimana bertujuan menambah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat agar pemerintah mendapat suara untuk mendukung perundingan linggarjati.

Pelanggaran Perjanjian

Pelaksanaan hasil perundingan ini tidak berjalan mulus. Pada tanggal 20 Juli 1947, Gubernur Jendral H.J. van Mook akhirnya menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan perjanjian ini, dan pada tanggal 21 Juli 1947, meletuslah Agresi Militer Belanda I. Hal ini merupakan akibat dari perbedaan penafsiran antara Indonesia dan Belanda.


Kronologi penyebab peristiwa 10 november 1945


Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara Indonesia dan pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di Kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.

Kedatangan Tentara Jepang ke Indonesia

Tanggal 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian tanggal 8 Maret 1942, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang berdasarkan Perjanjian Kalijati. Setelah penyerahan tanpa syarat tesebut, Indonesia secara resmi diduduki oleh Jepang.

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada bulan Agustus 1945. Dalam kekosongan kekuasaan asing tersebut, Soekarno kemudian memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Kedatangan Tentara Inggris & Belanda

Setelah kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945. Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama Blok Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Namun selain itu tentara Inggris yang datang juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia Belanda. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana melawan tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.
Insiden di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya


Hotel Oranye di Surabaya tahun 1911.

Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada sore hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.

 
Pengibaran bendera Indonesia setelah bendera belanda berhasil disobek warna birunya di hotel Yamato

Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Soedirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Soedirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Soedirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Koesno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris . Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.
Kematian Brigadir Jenderal Mallaby

Brigadir Jenderal Aubertin Mallaby

Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.

Perdebatan tentang pihak penyebab baku tembak

Mobil Buick Brigadir Jenderal Mallaby yang meledak di dekat Gedung Internatio dan Jembatan Merah Surabaya

Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris (Labour Party). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen Inggris (House of Commons) meragukan bahwa baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia. Dia menyampaikan bahwa peristiwa baku tembak ini disinyalir kuat timbul karena kesalahpahaman 20 anggota pasukan India pimpinan Mallaby yang memulai baku tembak tersebut tidak mengetahui bahwa gencatan senjata sedang berlaku karena mereka terputus dari kontak dan telekomunikasi. Berikut kutipan dari Tom Driberg:
"... Sekitar 20 orang (serdadu) India (milik Inggris), di sebuah bangunan di sisi lain alun-alun, telah terputus dari komunikasi lewat telepon dan tidak tahu tentang gencatan senjata. Mereka menembak secara sporadis pada massa (Indonesia). Brigadir Mallaby keluar dari diskusi (gencatan senjata), berjalan lurus ke arah kerumunan, dengan keberanian besar, dan berteriak kepada serdadu India untuk menghentikan tembakan. Mereka patuh kepadanya. Mungkin setengah jam kemudian, massa di alun-alun menjadi bergolak lagi. Brigadir Mallaby, pada titik tertentu dalam diskusi, memerintahkan serdadu India untuk menembak lagi. Mereka melepaskan tembakan dengan dua senapan Bren dan massa bubar dan lari untuk berlindung; kemudian pecah pertempuran lagi dengan sungguh gencar. Jelas bahwa ketika Brigadir Mallaby memberi perintah untuk membuka tembakan lagi, perundingan gencatan senjata sebenarnya telah pecah, setidaknya secara lokal. Dua puluh menit sampai setengah jam setelah itu, ia (Mallaby) sayangnya tewas dalam mobilnya-meskipun (kita) tidak benar-benar yakin apakah ia dibunuh oleh orang Indonesia yang mendekati mobilnya; yang meledak bersamaan dengan serangan terhadap dirinya (Mallaby). Saya pikir ini tidak dapat dituduh sebagai pembunuhan licik... karena informasi saya dapat secepatnya dari saksi mata, yaitu seorang perwira Inggris yang benar-benar ada di tempat kejadian pada saat itu, yang niat jujurnya saya tak punya alasan untuk pertanyakan ... "
10 NOVEMBER 1945

Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.

Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang telah membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan Tentara Keamanan Rakyat TKR juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia.

Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala besar, yang diawali dengan pengeboman udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan kemudian mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang.

Inggris kemudian membombardir kota Surabaya dengan meriam dari laut dan darat. Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk. Terlibatnya penduduk dalam pertempuran ini mengakibatkan ribuan penduduk sipil jatuh menjadi korban dalam serangan tersebut, baik meninggal maupun terluka.
Bung Tomo di Surabaya, salah satu pemimpin revolusioner Indonesia yang paling dihormati. Foto terkenal ini bagi banyak orang yang terlibat dalam Revolusi Nasional Indonesia mewakili jiwa perjuangan revolusi utama Indonesia saat itu.

Di luar dugaan pihak Inggris yang menduga bahwa perlawanan di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo tiga hari, para tokoh masyarakat seperti pelopor muda Bung Tomo yang berpengaruh besar di masyarakat terus menggerakkan semangat perlawanan pemuda-pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala besar Inggris.

Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan ulama serta kyai-kyai pondok Jawa seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai) shingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung lama, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini mencapai waktu sampai tiga minggu, sebelum seluruh kota Surabaya akhirnya jatuh di tangan pihak Inggris.

Setidaknya 6,000 - 16,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya.. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600 - 2000 tentara.Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.

sumber WIKIMEDIA

OPERASI TRIKORA pembebasan irian barat

Papua bagian barat merupakan wilayah bagian barat dari Pulau Papua yang terbagi ke dalam 2 provinsi Indonesia, yaitu Provinsi Papua dan Papua Barat. Wilayah ini juga sering hanya disebut sebagai Papua Barat (West Papua) oleh berbagai media internasional.
 Operasi Trikora (Tri Komando Rakyat), juga disebut Pembebasan Irian Barat, adalah konflik 2 tahun yang dilancarkan Indonesia untuk menggabungkan wilayah Papua bagian barat. Pada tanggal 19 Desember 1961, Soekarno (Presiden Indonesia) mengumumkan pelaksanaan Trikora di Alun-alun Utara Yogyakarta. Soekarno juga membentuk Komando Mandala. Mayor Jenderal Soeharto diangkat sebagai panglima. Tugas komando ini adalah merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Papua bagian barat dengan Indonesia.

Latar belakang

Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Indonesia mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda, termasuk wilayah barat Pulau Papua. Namun demikian, pihak Belanda menganggap wilayah itu masih menjadi salah satu provinsi Kerajaan Belanda. Pemerintah Belanda kemudian memulai persiapan untuk menjadikan Papua negara merdeka selambat-lambatnya pada tahun 1970-an. Namun pemerintah Indonesia menentang hal ini dan Papua menjadi daerah yang diperebutkan antara Indonesia dan Belanda. Hal ini kemudian dibicarakan dalam beberapa pertemuan dan dalam berbagai forum internasional. Dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Belanda dan Indonesia tidak berhasil mencapai keputusan mengenai Papua bagian barat, namun setuju bahwa hal ini akan dibicarakan kembali dalam jangka waktu 1 tahun.
Pada bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Papua bagian barat memiliki hak merdeka sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB. Karena Indonesia mengklaim Papua bagian barat sebagai daerahnya, Belanda mengundang Indonesia ke Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan masalah ini, namun Indonesia menolak. Setelah Indonesia beberapa kali menyerang Papua bagian barat, Belanda mempercepat program pendidikan di Papua bagian barat untuk persiapan kemerdekaan. Hasilnya antara lain adalah sebuah akademi angkatan laut yang berdiri pada 1956 dan tentara Papua pada 1957. Sebagai kelanjutan, pada 17 Agustus 1956 Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibukota di Soasiu yang berada di Pulau Tidore, dengan gubernur pertamanya, Zainal Abidin Syah yang dilantik pada tanggal 23 September 1956.
Pada tanggal 6 Maret 1959, harian New York Times melaporkan penemuan emas oleh pemerintah Belanda di dekat laut Arafura. Pada tahun 1960, Freeport Sulphur menandatangani perjanjian dengan Perserikatan Perusahaan Borneo Timur untuk mendirikan tambang tembaga di Timika, namun tidak menyebut kandungan emas ataupun tembaga.

 sumber wikimedia

Sabtu, 29 Juni 2013

Tentang Peristiwa Rengasdengklok


Peristiwa Rengasdengklok adalah peristiwa dimulai dari "penculikan" yang dilakukan oleh sejumlah pemuda (a.l.) Soekarni, Wikana dan Chaerul Saleh dari perkumpulan "Menteng 31" terhadap Soekarno dan Hatta. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.00. WIB, Soekarno dan Hatta dibawa ke Rengasdengklok, Karawang, untuk kemudian didesak agar mempercepat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia,sampai dengan terjadinya kesepakatan antara golongan tua yang diwakili Soekarno dan Hatta serta Mr. Achmad Subardjo dengan golongan muda tentang kapan proklamasi akan dilaksanakan.
Menghadapi desakan tersebut, Soekarno dan Hatta tetap tidak berubah pendirian. Sementara itu di Jakarta, Chairul dan kawan-kawan telah menyusun rencana untuk merebut kekuasaan. Tetapi apa yang telah direncanakan tidak berhasil dijalankan karena tidak semua anggota PETA mendukung rencana tersebut.
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia rencananya akan dibacakan Bung Karno dan Bung Hatta pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 di lapangan IKADA(yang sekarang telah menjadi lapangan Monas) atau di rumah Bung Karno di Jl.Pegangsaan Timur 56. Dipilih rumah Bung Karno karena di lapangan IKADA sudah tersebar bahwa ada sebuah acara yang akan diselenggarakan, sehingga tentara-tentara jepang sudah berjaga-jaga, untuk menghindari kericuhan, antara penonton-penonton saat terjadi pembacaan teks proklamasi, dipilihlah rumah Soekarno di jalan Pegangsaan Timur No.56. Teks Proklamasi disusun di Jakarta, bukan di Rengasdengklok, bukan di rumah seorang Tionghoa, Djiaw Kie Siong yang diusir dari rumahnya oleh anggota PETA agar dapat ditempati oleh "rombongan dari Jakarta". Naskah teks proklamasi di susun di rumah Laksamana Muda Maeda di Jakarta, bukan di Rengasdengklok. Bendera Merah Putih sudah dikibarkan para pejuang di Rengasdengklok pada Rabu tanggal 16 Agustus, sebagai persiapan untuk proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Karena tidak mendapat berita dari Jakarta, maka Jusuf Kunto dikirim untuk berunding dengan pemuda-pemuda yang ada di Jakarta. Namun sesampainya di Jakarta, Kunto hanya menemui Wikana dan Mr. Achmad Soebardjo, kemudian Kunto dan Achmad Soebardjo ke Rangasdengklok untuk menjemput Soekarno, Hatta, Fatmawati dan Guntur. Achmad Soebardjo mengundang Bung Karno dan Hatta berangkat ke Jakarta untuk membacakan proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56. Pada tanggal 16 tengah malam rombongan tersebut sampai di Jakarta.
Keesokan harinya, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945 pernyataan proklamasi dikumandangkan dengan teks proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diketik oleh Sayuti Melik menggunakan mesin ketik yang "dipinjam" (tepatnya sebetulnya diambil) dari kantor Kepala Perwakilan Angkatan Laut Jerman, Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler.

Latar belakang

Pada waktu itu Soekarno dan Moh. Hatta, tokoh-tokoh menginginkan agar proklamasi dilakukan melalui PPKI, sementara golongan pemuda menginginkan agar proklamasi dilakukan secepatnya tanpa melalui PPKI yang dianggap sebagai badan buatan Jepang. Selain itu, hal tersebut dilakukan agar Soekarno dan Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Para golongan pemuda khawatir apabila kemerdekaan yang sebenarnya merupakan hasil dari perjuangan bangsa Indonesia, menjadi seolah-olah merupakan pemberian dari Jepang.

Sebelumnya golongan pemuda telah mengadakan suatu perundingan di salah satu lembaga bakteriologi di Pegangsaan Timur Jakarta, pada tanggal 15 Agustus. Dalam pertemuan ini diputuskan agar pelaksanaan kemerdekaan dilepaskan segala ikatan dan hubungan dengan janji kemerdekaan dari Jepang. Hasil keputusan disampaikan kepada Ir. Soekarno pada malam harinya tetapi ditolak oleh Soekarno karena merasa bertanggung jawab sebagai ketua PPKI.

Kongres Pemuda Indonesia dan Sumpah Pemuda

 

adalah bukti otentik bahwa tanggal 28 Oktober 1928 bangsa Indonesia dilahirkan. Oleh karena itu sudah seharusnya segenap rakyat Indonesia memperingati momentum 28 Oktober sebagai hari lahirnya bangsa Indonesia. Proses kelahiran Bangsa Indonesia ini merupakan buah dari perjuangan rakyat yang selama ratusan tahun tertindas dibawah kekuasaan kaum kolonialis pada saat itu, kondisi ketertindasan inilah yang kemudian mendorong para pemuda pada saat itu untuk membulatkan tekad demi mengangkat harkat dan martabat hidup orang Indonesia asli, tekad inilah yang menjadi komitmen perjuangan rakyat Indonesia hingga berhasil mencapai kemerdekaannya 17 tahun kemudian yaitu pada 17 Agustus 1945.


Rumusan Kongres

Rumusan Kongres Sumpah Pemuda ditulis Moehammad Yamin pada secarik kertas yang disodorkan kepada Soegondo ketika Mr. Sunario tengah berpidato pada sesi terakhir kongres (sebagai utusan kepanduan) sambil berbisik kepada Soegondo: Ik heb een eleganter formulering voor de resolutie (Saya mempunyai suatu formulasi yang lebih elegan untuk keputusan Kongres ini), yang kemudian Soegondo membubuhi paraf setuju pada secarik kertas tersebut, kemudian diteruskan kepada yang lain untuk paraf setuju juga.  Sumpah tersebut awalnya dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang-lebar oleh Yamin.

Isi

Sumpah Pemuda versi orisinal:
  1. Pertama
    Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
  2. Kedoewa
    Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
  3. Ketiga
    Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Sumpah Pemuda versi Ejaan Yang Disempurnakan:
  1. Pertama Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
  2. Kedua Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
  3. Ketiga Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.


panitia Kongres

Dalam upaya mempersatu wadah organisasi pemuda dalam satu wadah telah dimulai sejak Kongres Pemuda Pertama 1926. Oleh sebab itu, tanggal 20 Februari 1927 telah diadakan pertemuan, namun pertemuan ini belum mencapai hasil yang final.

Kemudian pada 3 Mei 1928 diadakan pertemuan lagi, dan dilanjutkan pada 12 Agustus 1928. Pada pertemuan terakhir ini dihadiri semua organisasi pemuda dan diputuskan untuk mengadakan Kongres pada bulan Oktober 1928, dengan susunan panitia dengan setiap jabatan dibagi kepada satu organisasi pemuda (tidak ada organisasi yang rangkap jabatan) sebagai berikut:
  • Ketua: Sugondo Djojopuspito (PPPI)
  • Wakil Ketua: R.M. Joko Marsaid (Jong Java)
  • Sekretaris: Muhammad Yamin (Jong Soematranen Bond)
  • Bendahara: Amir Sjarifudin (Jong Bataks Bond)
  • Pembantu I: Johan Mohammad Cai (Jong Islamieten Bond)
  • Pembantu II: R. Katjasoengkana (Pemoeda Indonesia)
  • Pembantu III: R.C.I. Sendoek (Jong Celebes)
  • Pembantu IV: Johannes Leimena (Jong Ambon)
  • Pembantu V: Mohammad Rochjani Su'ud (Pemoeda Kaoem Betawi)


Kongres Pemuda Indonesia Kedua

Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh Indonesia. Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat.
Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng). Dalam sambutannya, ketua PPPI Sugondo Djojopuspito berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad Yamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan
Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, berpendapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.
Pada rapat penutup, di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, Sunario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan. Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu "Indonesia Raya" karya Wage Rudolf Supratman yang dimainkan dengan biola saja tanpa syair, atas saran Sugondo kepada Supratman. Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para pemuda yang hadir, rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia.


Peserta

Para peserta Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dll. Di antara mereka hadir pula beberapa orang pemuda Tionghoa sebagai pengamat, yaitu Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie namun sampai saat ini tidak diketahui latar belakang organisasi yang mengutus mereka. Sementara Kwee Thiam Hiong hadir sebagai seorang wakil dari Jong Sumatranen Bond. Diprakarsai oleh AR Baswedan pemuda keturunan arab di Indonesia mengadakan kongres di Semarang dan mengumandangkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab.


Gedung

Bangunan di Jalan Kramat Raya 106, tempat dibacakannya Sumpah Pemuda, adalah sebuah rumah pondokan untuk pelajar dan mahasiswa milik Sie Kok Liong
Gedung Kramat 106 sempat dipugar Pemda DKI Jakarta 3 April-20 Mei 1973 dan diresmikan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada 20 Mei 1973 sebagai Gedung Sumpah Pemuda. Gedung ini kembali diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 20 Mei 1974. Dalam perjalanan sejarah, Gedung Sumpah Pemuda pernah dikelola Pemda DKI Jakarta, dan saat ini dikelola Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.




sumber wikimedia

Sabtu, 22 Juni 2013

Keluarnya Supersemar

Surat Perintah Sebelas Maret atau Surat Perintah 11 Maret yang disingkat menjadi Supersemar adalah surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966.
Surat ini berisi perintah yang menginstruksikan Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu.
Surat Perintah Sebelas Maret ini adalah versi yang dikeluarkan dari Markas Besar Angkatan Darat (AD) yang juga tercatat dalam buku-buku sejarah. Sebagian kalangan sejarawan Indonesia mengatakan bahwa terdapat berbagai versi Supersemar sehingga masih ditelusuri naskah supersemar yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di Istana Bogor.

Supersemar



Menurut versi resmi, awalnya keluarnya supersemar terjadi ketika pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengadakan sidang pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dikenal dengan nama "kabinet 100 menteri". Pada saat sidang dimulai, Brigadir Jendral Sabur sebagai panglima pasukan pengawal presiden' Tjakrabirawa melaporkan bahwa banyak "pasukan liar" atau "pasukan tak dikenal" yang belakangan diketahui adalah Pasukan Kostrad dibawah pimpinan Mayor Jendral Kemal Idris yang bertugas menahan orang-orang yang berada di Kabinet yang diduga terlibat G-30-S di antaranya adalah Wakil Perdana Menteri I Soebandrio.
Berdasarkan laporan tersebut, Presiden bersama Wakil perdana Menteri I Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh berangkat ke Bogor dengan helikopter yang sudah disiapkan. Sementara Sidang akhirnya ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II Dr.J. Leimena yang kemudian menyusul ke Bogor.
Situasi ini dilaporkan kepada Mayor Jendral Soeharto (yang kemudian menjadi Presiden menggantikan Soekarno) yang pada saat itu selaku Panglima Angkatan Darat menggantikan Letnan Jendral Ahmad Yani yang gugur akibat peristiwa G-30-S/PKI itu. Mayor Jendral (Mayjend) Soeharto saat itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit. (Sebagian kalangan menilai ketidakhadiran Soeharto dalam sidang kabinet dianggap sebagai sekenario Soeharto untuk menunggu situasi. Sebab dianggap sebagai sebuah kejanggalan).
Mayor Jendral Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi (AD) ke Bogor untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor yakni Brigadir Jendral M. Jusuf, Brigadir Jendral Amir machmud dan Brigadir Jendral Basuki Rahmat. Setibanya di Istana Bogor, pada malam hari, terjadi pembicaraan antara tiga perwira tinggi AD dengan Presiden Soekarno mengenai situasi yang terjadi dan ketiga perwira tersebut menyatakan bahwa Mayjend Soeharto mampu mengendalikan situasi dan memulihkan keamanan bila diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil tindakan. Menurut Jendral (purn) M Jusuf, pembicaraan dengan Presiden Soekarno hingga pukul 20.30 malam.
Presiden Soekarno setuju untuk itu dan dibuatlah surat perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret yang populer dikenal sebagai Supersemar yang ditujukan kepada Mayjend Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.

Surat Supersemar tersebut tiba di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966 pukul 01.00 waktu setempat yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar AD Brigjen Budiono. Hal tersebut berdasarkan penuturan Sudharmono, dimana saat itu ia menerima telpon dari Mayjend Sutjipto, Ketua G-5 KOTI, 11 Maret 1966 sekitar pukul 10 malam. Sutjipto meminta agar konsep tentang pembubaran PKI disiapkan dan harus selesai malam itu juga. Permintaan itu atas perintah Pangkopkamtib yang dijabat oleh Mayjend Soeharto. Bahkan Sudharmono sempat berdebat dengan Moerdiono mengenai dasar hukum teks tersebut sampai Supersemar itu tiba.

Jumat, 21 Juni 2013

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia

pada hari Jumat, tanggal 17 Agustus 1945 tahun Masehi, atau tanggal 17 Agustus 2605 menurut tahun Jepang, yang dibacakan oleh Ir. Soekarno dengan didampingi oleh Drs. Mohammad Hatta bertempat di Jalan Pegangsaan Timur 56 – Jakarta Pusat.


Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, atau "Dokuritsu Junbi Cosakai", berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritsu Junbi Inkai dalam bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.

Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.
Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI. Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.
Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang (sic).

Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang
Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.
Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.
Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.

Peristiwa Rengasdengklok

Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana --yang konon kabarnya terbakar gelora heroismenya setelah berdiskusi dengan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka --yang tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945. Bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu - buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang kerumah masing-masing. Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10 malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia.


Pertemuan Soekarno/Hatta dengan Jenderal Mayor Nishimura dan Laksamana Muda Maeda

Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda tidak mau menerima Sukarno-Hatta yang diantar oleh Tadashi Maeda dan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang, untuk menerima kedatangan rombongan tersebut. Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945 telah diterima perintah dari Tokyo bahwa Jepang harus menjaga status quo, tidak dapat memberi izin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam. Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji agar dikasihani oleh Sekutu. Akhirnya Sukarno-Hatta meminta agar Nishimura jangan menghalangi kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura tidak tau. Melihat perdebatan yang panas itu Maeda dengan diam-diam meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh Nishimura agar Maeda mematuhi perintah Tokio dan dia mengetahui sebagai perwira penghubung Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak punya wewenang memutuskan.
Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No.1) diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Setelah menyapa Sukarno-Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan Nishimura, Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, B.M. Diah, Sudiro (Mbah) dan Sayuti Melik. Myoshi yang setengah mabuk duduk di kursi belakang mendengarkan penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada kalimat dari Shigetada Nishijima seolah-olah dia ikut mencampuri penyusunan teks proklamasi dan menyarankan agar pemindahan kekuasaan itu hanya berarti kekuasaan administratif. Tentang hal ini Bung Karno menegaskan bahwa pemindahan kekuasaan itu berarti "transfer of power". Bung Hatta, Subardjo, B.M Diah, Sukarni, Sudiro dan Sajuti Malik tidak ada yang membenarkan klaim Nishijima tetapi di beberapa kalangan klaim Nishijima masih didengungkan.
Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan AL Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler.Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56(sekarang Jl. Proklamasi no. 1).

Detik-detik Pembacaan Naskah Proklamasi

Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di laksamana Tadashi Maeda Jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah, Sayuti Melik, Sukarni, dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti Melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh Ibu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.
Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya.. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.
Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.
Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari Oto Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.

Rabu, 19 Juni 2013

BENDERA MERAH PUTIH indonesia



Bendera Negara Republik Indonesia, yang secara singkat disebut Bendera Negara, adalah Sang Saka Merah Putih, Sang Merah Putih, Merah Putih, atau kadang disebut Sang Dwiwarna (dua warna). Bendera Negara Sang Merah Putih berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran lebar 2/3 (dua-pertiga) dari panjang serta bagian atas berwarna merah dan bagian bawah berwarna putih yang kedua bagiannya berukuran sama.


Warna merah-putih bendera negara diambil dari warna panji atau pataka Kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa Timur pada abad ke-13.Akan tetapi ada pendapat bahwa pemuliaan terhadap warna merah dan putih dapat ditelusuri akar asal-mulanya dari mitologi bangsa Austronesia mengenai Bunda Bumi dan Bapak Langit; keduanya dilambangkan dengan warna merah (tanah) dan putih (langit). Karena hal inilah maka warna merah dan putih kerap muncul dalam lambang-lambang Austronesia — dari Tahiti, Indonesia, sampai Madagaskar. Merah dan putih kemudian digunakan untuk melambangkan dualisme alam yang saling berpasangan.Catatan paling awal yang menyebut penggunaan bendera merah putih dapat ditemukan dalam Pararaton; menurut sumber ini disebutkan balatentara Jayakatwang dari Gelang-gelang mengibarkan panji berwarna merah dan putih saat menyerang Singhasari. Hal ini berarti sebelum masa Majapahit pun warna merah dan putih telah digunakan sebagai panji kerajaan, mungkin sejak masa Kerajaan Kediri. Pembuatan panji merah putih pun sudah dimungkinkan dalam teknik pewarnaan tekstil di Indonesia purba. Warna putih adalah warna alami kapuk atau kapas katun yang ditenun menjadi selembar kain, sementara zat pewarna merah alami diperoleh dari daun pohon jati, bunga belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi), atau dari kulit buah manggis.
Sebenarnya tidak hanya kerajaan Majapahit saja yang memakai bendera merah putih sebagai lambang kebesaran. Sebelum Majapahit, kerajaan Kediri telah memakai panji-panji merah putih. Selain itu, bendera perang Sisingamangaraja IX dari tanah Batak pun memakai warna merah putih sebagai warna benderanya , bergambar pedang kembar warna putih dengan dasar merah menyala dan putih. Warna merah dan putih ini adalah bendera perang Sisingamangaraja XII. Dua pedang kembar melambangkan piso gaja dompak, pusaka raja-raja Sisingamangaraja I-XII.Ketika terjadi perang di Aceh, pejuang – pejuang Aceh telah menggunakan bendera perang berupa umbul-umbul dengan warna merah dan putih, di bagian belakang diaplikasikan gambar pedang, bulan sabit, matahari, dan bintang serta beberapa ayat suci Al Quran.

Di zaman kerajaan Bugis Bone,Sulawesi Selatan sebelum Arung Palakka, bendera Merah Putih, adalah simbol kekuasaan dan kebesaran kerajaan Bone.Bendera Bone itu dikenal dengan nama Woromporang.Panji kerajaan Badung yang berpusat di Puri Pamecutan juga mengandung warna merah dan putih, panji mereka berwarna merah, putih, dan hitam yang mungkin juga berasal dari warna Majapahit.
Pada waktu perang Jawa (1825-1830 M) Pangeran Diponegoro memakai panji-panji berwarna merah putih dalam perjuangannya melawan Belanda. Kemudian, warna-warna yang dihidupkan kembali oleh para mahasiswa dan kemudian nasionalis di awal abad 20 sebagai ekspresi nasionalisme terhadap Belanda. Bendera merah putih digunakan untuk pertama kalinya di Jawa pada tahun 1928. Di bawah pemerintahan kolonialisme, bendera itu dilarang digunakan. Bendera ini resmi dijadikan sebagai bendera nasional Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, ketika kemerdekaan diumumkan dan resmi digunakan sejak saat itu pula.

Arti Warna

Bendera Indonesia memiliki makna filosofis. Merah berarti berani, putih berarti suci. Merah melambangkan raga manusia, sedangkan putih melambangkan jiwa manusia. Keduanya saling melengkapi dan menyempurnakan jiwa dan raga manusia untuk membangun Indonesia.
Ditinjau dari segi sejarah, sejak dahulu kala kedua warna merah dan putih mengandung makna yang suci. Warna merah mirip dengan warna gula jawa (gula aren) dan warna putih mirip dengan warna nasi. Kedua bahan ini adalah bahan utama dalam masakan Indonesia, terutama di pulau Jawa. Ketika Kerajaan Majapahit berjaya di Nusantara, warna panji-panji yang digunakan adalah merah dan putih (umbul-umbul abang putih). Sejak dulu warna merah dan putih ini oleh orang Jawa digunakan untuk upacara selamatan kandungan bayi sesudah berusia empat bulan di dalam rahim berupa bubur yang diberi pewarna merah sebagian. Orang Jawa percaya bahwa kehamilan dimulai sejak bersatunya unsur merah sebagai lambang ibu, yaitu darah yang tumpah ketika sang jabang bayi lahir, dan unsur putih sebagai lambang ayah, yang ditanam di gua garba.

Peraturan Tentang Bendera Merah Putih

Bendera negara diatur menurut UUD '45 pasal 35 , UU No 24/2009,dan Peraturan Pemerintah No.40/1958 tentang Bendera Kebangsaan Republik Indonesia
Bendera Negara dibuat dari kain yang warnanya tidak luntur dan dengan ketentuan ukuran:
  1. 200 cm x 300 cm untuk penggunaan di lapangan istana kepresidenan;
  2. 120 cm x 180 cm untuk penggunaan di lapangan umum;
  3. 100 cm x 150 cm untuk penggunaan di ruangan;
  4. 36 cm x 54 cm untuk penggunaan di mobil Presiden dan Wakil Presiden;
  5. 30 cm x 45 cm untuk penggunaan di mobil pejabat negara;
  6. 20 cm x 30 cm untuk penggunaan di kendaraan umum;
  7. 100 cm x 150 cm untuk penggunaan di kapal;
  8. 100 cm x 150 cm untuk penggunaan di kereta api;
  9. 30 cm x 45 cm untuk penggunaan di pesawat udara;dan
  10. 10 cm x 15 cm untuk penggunaan di meja.
Pengibaran dan/atau pemasangan Bendera Negara dilakukan pada waktu antara matahari terbit hingga matahari terbenam. Dalam keadaan tertentu, dapat dilakukan pada malam hari.
Bendera Negara wajib dikibarkan pada setiap peringatan Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus oleh warga negara yang menguasai hak penggunaan rumah, gedung atau kantor, satuan pendidikan, transportasi umum, dan transportasi pribadi di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan di kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
Bendera Negara wajib dikibarkan setiap hari di:
  1. istana Presiden dan Wakil Presiden;
  2. gedung atau kantor lembaga negara;
  3. gedung atau kantor lembaga pemerintah;
  4. gedung atau kantor lembaga pemerintah nonkementerian;
  5. gedung atau kantor lembaga pemerintah daerah;
  6. gedung atau kantor dewan perwakilan rakyat daerah;
  7. gedung atau kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri;
  8. gedung atau halaman satuan pendidikan;
  9. gedung atau kantor swasta;
  10. rumah jabatan Presiden dan Wakil Presiden;
  11. rumah jabatan pimpinan lembaga negara;
  12. rumah jabatan menteri;
  13. rumah jabatan pimpinan lembaga pemerintahan nonkementerian;
  14. rumah jabatan gubernur, bupati, walikota, dan camat;
  15. gedung atau kantor atau rumah jabatan lain;
  16. pos perbatasan dan pulau-pulau terluar di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  17. lingkungan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia; dan
  18. taman makam pahlawan nasional.
Bendera Negara sebagai penutup peti atau usungan jenazah dapat dipasang pada peti atau usungan jenazah Presiden atau Wakil Presiden, mantan Presiden atau mantan Wakil Presiden, anggota lembaga negara, menteri atau pejabat setingkat menteri, kepala daerah, anggota dewan perwakilan rakyat daerah, kepala perwakilan diplomatik, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Republik Indonesia yang meninggal dalam tugas, dan/atau warga negara Indonesia yang berjasa bagi bangsa dan negara.
Bendera Negara yang dikibarkan pada Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta disebut Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih. Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih disimpan dan dipelihara di Monumen Nasional Jakarta.
Setiap orang dilarang:
  1. merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara;
  2. memakai Bendera Negara untuk reklame atau iklan komersial;
  3. mengibarkan Bendera Negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam;
  4. mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apapun pada Bendera Negara; dan
  5. memakai Bendera Negara untuk langit-langit, atap, pembungkus barang, dan tutup barang yang dapat menurunkan kehormatan Bendera Negara.

 sumber :wikimedia

GARUDA PANCASILA ideologi bangsa




Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata dari Sanskerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan tercantum pada paragraf ke-4 Preambule (Pembukaan) Undang-undang Dasar 1945.
Meskipun terjadi perubahan kandungan dan urutan lima sila Pancasila yang berlangsung dalam beberapa tahap selama masa perumusan Pancasila pada tahun 1945, tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila.


Dalam upaya merumuskan Pancasila sebagai dasar negara yang resmi, terdapat usulan-usulan pribadi yang dikemukakan dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yaitu :
  • Lima Dasar oleh Muhammad Yamin, yang berpidato pada tanggal 29 Mei 1945. Yamin merumuskan lima dasar sebagai berikut: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Dia menyatakan bahwa kelima sila yang dirumuskan itu berakar pada sejarah, peradaban, agama, dan hidup ketatanegaraan yang telah lama berkembang di Indonesia. Mohammad Hatta dalam memoarnya meragukan pidato Yamin tersebut.
  • Panca Sila oleh Soekarno yang dikemukakan pada tanggal 1 Juni 1945 dalam pidato spontannya yang kemudian dikenal dengan judul "Lahirnya Pancasila". Sukarno mengemukakan dasar-dasar sebagai berikut: Kebangsaan; Internasionalisme; Mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan; Kesejahteraan; Ketuhanan. Nama Pancasila itu diucapkan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni itu, katanya:
Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa - namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.
Setelah Rumusan Pancasila diterima sebagai dasar negara secara resmi beberapa dokumen penetapannya ialah :
  • Rumusan Pertama : Piagam Jakarta (Jakarta Charter) - tanggal 22 Juni 1945
  • Rumusan Kedua : Pembukaan Undang-undang Dasar - tanggal 18 Agustus 1945
  • Rumusan Ketiga : Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat - tanggal 27 Desember 1949
  • Rumusan Keempat : Mukaddimah Undang-undang Dasar Sementara - tanggal 15 Agustus 1950
  • Rumusan Kelima : Rumusan Kedua yang dijiwai oleh Rumusan Pertama (merujuk Dekrit Presiden 5 Juli 1959)

Hari Kesaktian Pancasila

Pada tanggal 30 September 1965, terjadi insiden yang dinamakan Gerakan 30 September (G30S). Insiden ini sendiri masih menjadi perdebatan di tengah lingkungan akademisi mengenai siapa penggiatnya dan apa motif dibelakangnya. Akan tetapi otoritas militer dan kelompok reliji terbesar saat itu menyebarkan kabar bahwa insiden tersebut merupakan usaha PKI mengubah unsur Pancasila menjadi ideologi komunis, untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia dan membenarkan peristiwa Pembantaian di Indonesia 1965–1966.
Pada hari itu, enam Jendral dan berberapa orang lainnya dibunuh oleh oknum-oknum yang digambarkan pemerintah sebagai upaya kudeta. Gejolak yang timbul akibat G30S sendiri pada akhirnya berhasil diredam oleh otoritas militer Indonesia. Pemerintah Orde Baru kemudian menetapkan 30 September sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September G30S dan tanggal 1 Oktober ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila.


Butir-butir pengamalan Pancasila

Ketetapan MPR no. II/MPR/1978 tentang Ekaprasetia Pancakarsa menjabarkan kelima asas dalam Pancasila menjadi 36 butir pengamalan sebagai pedoman praktis bagi pelaksanaan Pancasila.
36 BUTIR-BUTIR PANCASILA/EKA PRASETIA PANCA KARSA
A. SILA KETUHANAN YANG MAHA ESA
  1. Percaya dan Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
  2. Hormat menghormati dan bekerjasama antar pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
  3. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
  4. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
B. SILA KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB
  1. Mengakui persamaan derajat persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
  2. Saling mencintai sesama manusia.
  3. Mengembangkan sikap tenggang rasa.
  4. Tidak semena-mena terhadap orang lain.
  5. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
  6. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
  7. Berani membela kebenaran dan keadilan.
  8. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
C. SILA PERSATUAN INDONESIA
  1. Menempatkan kesatuan, persatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.
  2. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
  3. Cinta Tanah Air dan Bangsa.
  4. Bangga sebagai Bangsa Indonesia dan ber-Tanah Air Indonesia.
  5. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
D. SILA KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN / PERWAKILAN
  1. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
  2. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
  3. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
  4. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat kekeluargaan.
  5. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil musyawarah.
  6. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
  7. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
E. SILA KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA
  1. Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan gotong-royong.
  2. Bersikap adil.
  3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
  4. Menghormati hak-hak orang lain.
  5. Suka memberi pertolongan kepada orang lain.
  6. Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain.
  7. Tidak bersifat boros.
  8. Tidak bergaya hidup mewah.
  9. Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.
  10. Suka bekerja keras.
  11. Menghargai hasil karya orang lain.
  12. Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Ketetapan ini kemudian dicabut dengan Tap MPR no. I/MPR/2003 dengan 45 butir Pancasila. Tidak pernah dipublikasikan kajian mengenai apakah butir-butir ini benar-benar diamalkan dalam keseharian warga Indonesia.

Sila pertama

  1. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
  3. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  4. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  5. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
  6. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
  7. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.

Sila kedua

  1. Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
  3. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
  4. Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
  5. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
  6. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
  7. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
  8. Berani membela kebenaran dan keadilan.
  9. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
  10. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.

Sila ketiga

  1. Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
  2. Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
  3. Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
  4. Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
  5. Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
  6. Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
  7. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.

Sila keempat

  1. Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama.
  2. Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
  3. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
  4. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
  5. Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.
  6. Dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
  7. Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
  8. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
  9. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
  10. Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan pemusyawaratan.

Sila kelima

  1. Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
  2. Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
  3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
  4. Menghormati hak orang lain.
  5. Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
  6. Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain.
  7. Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah.
  8. Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.
  9. Suka bekerja keras.
  10. Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
  11. Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.


sumber :wikimedia

Rabu, 05 Juni 2013

ISTANA MERDEKA



Istana Merdeka adalah tempat resmi kediaman dan kantor Presiden Indonesia yang terletak satu kompleks dengan Istana Negara dan Bina Graha. Letaknya menghadap ke Taman Monumen Nasional (Monas) Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta.

 Istana dengan luas sekitar 2.400 m² ini dibangun pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal J.W. van Lansberge tahun 1873 dalam kaveling yang sama dengan Istana Rijswijk yang mulai sesak. Awalnya bernama Istana Gambir, Istana yang diarsiteki Drossaers ini pada awal masa pemerintahan Republik Indonesia (RI) sempat menjadi saksi sejarah penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Pemerintah Belanda pada 27 Desember 1949. Waktu itu RI diwakili oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sedangkan kerajaan Belanda diwakili A.H.J. Lovink, wakil tinggi mahkota Belanda di Indonesia.

Dalam upacara yang mengharukan itu bendera Belanda diturunkan dan Bendera Indonesia dinaikkan ke langit biru. Ratusan ribu orang memenuhi tanah lapangan dan tangga-tangga gedung ini diam mematung dan meneteskan air mata ketika bendera Merah Putih dinaikkan. Tetapi, ketika Sang Merah Putih menjulang ke atas dan berkibar, meledaklah kegembiraan mereka dan terdengar teriakan: Merdeka! Merdeka! Sejak saat itu Istana Gambir dinamakan Istana Merdeka.
Sehari setelah pengakuan kedaulatan oleh kerajaan Belanda, pada 28 Desember 1949 Presiden Soekarno beserta keluarganya tiba dari Yogyakarta dan untuk pertama kalinya mendiami Istana Merdeka. Peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus di Istana Merdeka pertama kali diadakan pada 1950. Tercatat selain Presiden Sukarno, yang mendiami istana ini adalah Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Kini Istana Merdeka digunakan untuk penyelenggaraan acara-acara kenegaraan, antara lain Peringatan Detik-detik Proklamasi, upacara penyambutan tamu negara, penyerahan surat-surat kepercayaan duta besar negara sahabat, dan pelantikan perwira muda (TNI dan Polri).
Mulai tahun 1975, perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia akan berpindah dari Istana Merdeka ke Monumen Nasional.

ISTANA BOGOR


Istana Kepresidenan Bogor terletak di Jalan Ir. H. Juanda No.1, Kelurahan Paledang, Kecamatan Kota Bogor Tengah, Kotamadya Bogor, Provinsi Jawa Barat, sekitar 60 kilometer dari Jakarta atau 43 kilometer dari Cipanas. Istana ini berada di pusat kota Bogor, di atas tanah berkultur datar, seluas sekitar 28, 86 hektar, di ketinggian 290 meter dari permukaan laut. Di halamannya yang sangat luas tersebut dipelihara sekitar 591 ekor rusa tutul, dan terdapat sekitar 346 jenis pepohonan. Juga terdapat patung - patung yang cantik, seperti Si Denok karya Trubus, yang modelnya adalah Ara, istri seorang karyawan Istana Bogor serta The Hand of God, reproduksi dari Swedia.
Menurut data kepustakaan, di Istana Kepresidenan Bogor terdapat 37 bangunan. Beberapa bangunan utama nya memiliki fungsi penting.
  • Gedung Induk, terdiri dari delapan ruang , yaitu Ruang Garuda yang berfungsi sebagai Ruang Resepsi, disini juga pertemuan - pertemuan besar dapat dilaksanakan. Ruang Teratai yang berfungsi sebagai ruang penerimaan tamu. Ruang Film pernah berfungsi sebagai ruang pemutaran film pada masa Presiden Soekarno. Ruang Makan yang berfungsi sebagai ruang makan utama. Ruang Kerja Presiden yang pernah berfungsi sebagai tempat bekerja Presiden Soekarno. Ruang Perpustakaan yang pernah berfungsi sebagai ruang perpustakaan Presiden Soekarno. Ruang Famili dan Kamar Tidur yang berfungsi sebagai tempat / ruang tunggu Presiden jika akan mengikuti aneka acara di Ruang Garuda. Ruang Tunggu Menteri yang berfungsi sebagai ruang tunggu para menteri jika mereka akan mengikuti acara - acara di Ruang Garuda.
     
  • Gedung Utama Sayap Kiri, terdiri dari dua ruang, yaitu Ruang Panca Negara, yang pernah berfungsi sebagai ruang Konferensi Panca Negara / persiapan Konferensi Asia Afrika di Bandung, Ruang Tidur dan Ruang Tengah, yang difungsikan sebagai tempat menginap Presiden, tamu negara dan tamu agung.
     
  • Gedung Utama Sayap Kanan, berfungsi sebagai tempat menginap para Presiden sebagai tamu negara berikut tamu - tamu negara, dan tamu - tamu lainnya. Paviliun Sayap Kiri berfungsi sebagai kantor Rumah Tangga Istana Bogor, sedangkan Paviliun Sayap Kanan berfungsi sebagai tempat menginap para pejabat dan staf tamu negara.
     
  • Paviliun I-VI. Paviliun I-V kini digunakan sebagai tempat menginap para pejabat dan merupakan ruang tunggu para menteri apabila ada acara, Paviliun VI digunakan sebagai rumah jabatan kepala istal Di antara bangunan-bangunan lainnya, yang patut dicatat di sini adalah Gedung Dyah Bayurini, yang dilengkapi dengan kolam renang digunakan sebagai tempat istirahat Presiden serta keluarganya jika sedang berada di Bogor. Selain itu, terdapat Gedung Serba Guna yang berfungsi sebagai ruang serba guna: kesenian, pertemuan, tempat artis, dsb. Selebihnya bangunan-bangunan itu merupakan bangunan-bangunan pelengkap kediaman Presiden dan fungsinya pun sejalan dengan jabaran tugas dan fungsi mereka.
  • Sumber : Buku Istana Kepresidenan Republik Indonesia Bogor 2004
    Sekretariat Presiden RI

    Senin, 03 Juni 2013

    BANDUNG LAUTAN API

    Peristiwa Bandung Lautan Api adalah peristiwa kebakaran besar yang terjadi di kota Bandung, provinsi Jawa Barat, Indonesia pada 24 Maret 1946. Dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk Bandung membakar rumah mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda untuk dapat menggunakan kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.

    Pasukan Inggris bagian dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945. Sejak semula hubungan mereka dengan pemerintah RI sudah tegang. Mereka menuntut agar semua senjata api yang ada di tangan penduduk, kecuali TKR dan polisi, diserahkan kepada mereka. Orang-orang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp tawanan mulai melakukan tindakan-tindakan yang mulai mengganggu keamanan. Akibatnya, bentrokan bersenjata antara Inggris dan TKR tidak dapat dihindari. Malam tanggal 24 November 1945, TKR dan badan-badan perjuangan melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Homann dan Hotel Preanger yang mereka gunakan sebagai markas. Tiga hari kemudian, MacDonald menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar Bandung Utara dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata.
    Ultimatum Tentara Sekutu agar Tentara Republik Indonesia (TRI, sebutan bagi TNI pada saat itu) meninggalkan kota Bandung mendorong TRI untuk melakukan operasi "bumihangus". Para pejuang pihak Republik Indonesia tidak rela bila Kota Bandung dimanfaatkan oleh pihak Sekutu dan NICA. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, pada tanggal 24 Maret 1946. Kolonel Abdoel Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III TRI mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan evakuasi Kota Bandung. Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan kota Bandung dan malam itu pembakaran kota berlangsung.
    Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat setempat dengan maksud agar Sekutu tidak dapat menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Di mana-mana asap hitam mengepul membubung tinggi di udara dan semua listrik mati. Tentara Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling besar terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat gudang amunisi besar milik Tentara Sekutu. Dalam pertempuran ini Muhammad Toha dan Ramdan, dua anggota milisi BRI (Barisan Rakjat Indonesia) terjun dalam misi untuk menghancurkan gudang amunisi tersebut. Muhammad Toha berhasil meledakkan gudang tersebut dengan dinamit. Gudang besar itu meledak dan terbakar bersama kedua milisi tersebut di dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan mereka, maka pada pukul 21.00 itu juga ikut dalam rombongan yang mengevakuasi dari Bandung. Sejak saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota, sehingga Bandung pun menjadi lautan api.

    Pembumi hangusan Bandung tersebut dianggap merupakan strategi yang tepat dalam Perang Kemerdekaan Indonesia karena kekuatan TRI dan milisi rakyat tidak sebanding dengan kekuatan pihak Sekutu dan NICA yang berjumlah besar. Setelah peristiwa tersebut, TRI bersama milisi rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini mengilhami lagu Halo, Halo Bandung yang nama penciptanya masih menjadi bahan perdebatan.
    Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo, Halo Bandung" secara resmi ditulis, menjadi kenangan akan emosi yang para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia alami saat itu, menunggu untuk kembali ke kota tercinta mereka yang telah menjadi lautan api.